Rabu, 29 April 2009

asKeP perForaTiOn meMbraNa TyMpaNi

OTITIS MEDIA AKUT

A. Pengertian

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).

Yang paling sering terlihat ialah :

1. Otitis media viral akut

2. Otitis media bakterial akut

3. Otitis media nekrotik akut

B. Etiologi

Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.

C. Patofisiologi

Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.

Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.

2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.

E. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Data yang muncul saat pengkajian:

a. Sakit telinga/nyeri

b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga

c. Tinitus

d. Perasaan penuh pada telinga

e. Suara bergema dari suara sendiri

f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan

g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga

h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga

i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)

j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam

k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat

l. Reflek kejut

m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras

n. Tipe warna 2 jumlah cairan

o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning

p. Alergi

q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram

r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi

2. Fokus Intervensi

1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga

Tujuan : nyeri berkurang atau hilang

Intervensi:

(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.

(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.

(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)

(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik

Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang

2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan

Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi

Intervensi:

(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.

(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme

(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.

(d) Kolaborasi pemberian antibiotik

Evaluasi: infeksi tidak terjadi

3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori

Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan

Intervensi:

(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh

(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.

(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh

(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka

Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan

OTITIS MEDIA PERFORATA

A. Pengertian

Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)

B. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis antara lain:

1. Gangguan fungsi tuba eustacius yang kronis akibat:

a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis dan berulang

b. Obstruksi anatomik tuba eustacius parsial atau total

2. Perforasi membran timpani yang menetap.

3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.

4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulai atau timpano-sklerosis.

5. Terdapat daerah-daerah osteomielitis persisten di mastoid.

6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

C. Patofisiologi

Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.

OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif

2. Foto rontgent untuk mengetahui patologi mastoid

3. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani

E. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Kaji riwayat infeksi telinga dan pengobatan

b. Kaji drainage telinga, keutuhan membran timpani

c. Kaji penurunan / tuli pendengaran

d. Kaji daerah mastoid

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi efek pembedahan.

b. Resiko penyebaran infeksi berhubungen dengan komplikasi proses pembedahan / penyakit.

c. Gangguan persepsi sensori auditory berhubungan dengan proses penyakit dan efek pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan

a. Meningkatkan kenyamanan

1) Berikan tindakan untuk mengurangi nyeri

§ Beri analgetik

§ Lakukan kompres dingin pada area

§ Atur posisi nyaman

2) Beri sedatif secara hati-hati agar dapat istirahat (kolaborasi)

b. Pencegahan penyebaran infeksi

1) Mengganti balutan pada daerah luka

2) Observasi tanda-tanda vital

3) Beri antibiotik yang disarankan tim medis

4) Awasi terjadinya infeksi

c. Monitor perubahan sensori

1) Catat status pendengaran

2) Kaji pasien yang mengalami vertigo setelah operasi

3) Awasi keadaan yang dapat menyebabkan injury nervus facial

3. Evaluasi

a. Tak ada infeksi lokal atau CNS

b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang

c. Dapat mendengar dengan jelas tanpa atau menggunakan alat bantu pendengaran

DAFTAR PUSTAKA

1. Donna L. Wong, L.F. Whaley, Nursing Care of Infants and Children, Mosby Year Book.

2. Efiaty Arsyad, S, Nurbaiti Iskandar, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III, FKUI,1997.

3. Wong Whaley, Clinical Manual of Pediatric Nursing, Mosby Year Book.

Senin, 06 April 2009

DYSMENORRHEA

DYSMENORRHEA

Background

Dysmenorrhea refers to the syndrome of painful menstruation. Primary dysmenorrhea occurs in the absence of pelvic pathology, whereas secondary dysmenorrhea results from identifiable organic diseases, most typically endometriosis, uterine fibroids, uterine adenomyosis, or chronic pelvic inflammatory disease. The prevalence of dysmenorrhea is estimated to be between 45 and 95% among reproductive-aged women. Although not life threatening, dysmenorrhea can be debilitating and psychologically taxing for many women and is one of the leading causes of absenteeism from work and school.

History

Primary dysmenorrhea may be distinguished from secondary dysmenorrhea by means of a thorough history. Pertinent information includes age at menarche, abnormal vaginal bleeding or discharge, dyspareunia, and obstetric history.

Primary dysmenorrhea

Onset within 6-12 months after menarche
Lower abdominal/pelvic pain begins with onset of menses and lasts 8-72 hours
Low back pain
Medial/anterior thigh pain
Headache
Diarrhea
Nausea/vomiting

Secondary dysmenorrhea

Onset in 20s or 30s, after relatively painless menstrual cycles in the past
Infertility
Heavy menstrual flow or irregular bleeding
Dyspareunia
Vaginal discharge
Lower abdominal or pelvic pain during times other than menses
Pain unrelieved by nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Physical
A complete physical examination should be performed. For younger adolescents who have never been sexually active, a careful abdominal examination is appropriate. In older adolescents or those known to be sexually active, a pelvic examination is crucial. Pelvic ultrasonography should be considered in women who are suspected to have secondary dysmenorrhea.
Primary dysmenorrhea
May have lower abdominal tenderness
May have uterine tenderness or normal pelvic examination (Cervical stenosis may contribute to retrograde menstrual flow.)

Secondary dysmenorrhea
Palpable uterine mass or masses
Cervical motion tenderness
Adnexal tenderness or palpable mass or masses
Vaginal or cervical discharge
Visible vaginal pathology (mucosal tears, masses, prolapse)
Normal abdominal and pelvic examinations do not rule out pathology. Ultrasonography or other imaging modalities may be warranted if suspicion of secondary dysmenorrhea is high.
Causes
Risk factors
Primary dysmenorrhea
Early age at menarche ( <12 y)
Nulliparity
Heavy or prolonged menstrual flow
Smoking
Positive family history
Obesity

Secondary dysmenorrhea
Endometriosis
Adenomyosis
Leiomyomata (fibroids)
Intrauterine device
Pelvic inflammatory disease
Endometrial carcinoma
Ovarian cysts
Congenital pelvic malformations
Cervical stenosis
Lab Studies
The diagnosis of dysmenorrhea is generally clinical.
Laboratory studies may be indicated to elucidate the cause of secondary dysmenorrhea.

Complete blood count (with differential), for evidence of infection or neoplastic process
Urinalysis, to exclude urinary tract infection
Quantitative human chorionic gonadotropin level, to exclude ectopic pregnancy
Gonococcal/chlamydial cervical swabs, to exclude STDs/PID
Stool guaiac, to rule out GI bleeding
Erythrocyte sedimentation rate (ESR), for subacute salpingitis
Emergency Department Care
As always, ED evaluation should begin with the ABCs and should consider serious diagnoses such as hemorrhagic shock and sepsis. A patient whose history and clinical presentation clearly suggest primary dysmenorrhea may be treated symptomatically and provided with appropriate follow-up. A patient whose presentation is less clear, or whose vital signs and/or physical examination are abnormal, deserves a more thorough workup, including full laboratory studies, pelvic ultrasonography, and potentially an OB/GYN consultation.
Treatment of dysmenorrhea
Treatment of dysmenorrhea is aimed at providing symptomatic relief as well as inhibiting the underlying processes that cause symptoms.
NSAIDs reduce prostaglandin production via cyclooxygenase inhibition and are used as first-line therapy for dysmenorrhea. If taken early enough and in sufficient quantity, they are extremely successful in alleviating menstrual pain. Approximately two thirds of women achieve pain relief with NSAIDs. In the ED setting, patients who do not respond to NSAIDs may require treatment with narcotics for pain control. Patients whose symptoms are not relieved by NSAIDs are very likely to have underlying pelvic pathology such as endometriosis.
COX-2 specific inhibitors have also proven effective in relieving menstrual pain. Their selectivity reduces the GI symptoms caused by inhibition of the COX-1 receptor. However, recent clinical trials have raised into question their cardiovascular safety profiles. As a result, some of these agents are no longer available.
Simple analgesics, such as aspirin and acetaminophen, may also be useful, especially when NSAIDs are contraindicated.
Oral contraceptives, which block monthly ovulation and may decrease menstrual flow, may also relieve symptoms. In one clinical trial, 65% of women reported pain relief from oral contraceptives (Proctor, 2006).
Certain dietary supplements may be effective, though their effectiveness has only been demonstrated in small clinical trials. Thiamine, pyridoxine, magnesium, and fish oil are examples (Proctor, 2006).
Drug Category: Nonsteroidal anti-inflammatory agents
These drugs are highly effective in treating dysmenorrhea, especially when they are started before the onset of menses and continued through day 2. They are readily available, relatively inexpensive, and have a low side effect profile when used cautiously and in those who have no contraindications.

Author: 
Laurel D Edmundson, MD, Clincal Assistant Instructor of Emergency Medicine, Resident, Department of Emergency Medicine, Kings County Hospital Center, Brooklyn