Rabu, 29 April 2009

asKeP perForaTiOn meMbraNa TyMpaNi

OTITIS MEDIA AKUT

A. Pengertian

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).

Yang paling sering terlihat ialah :

1. Otitis media viral akut

2. Otitis media bakterial akut

3. Otitis media nekrotik akut

B. Etiologi

Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.

C. Patofisiologi

Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.

Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.

2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.

E. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Data yang muncul saat pengkajian:

a. Sakit telinga/nyeri

b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga

c. Tinitus

d. Perasaan penuh pada telinga

e. Suara bergema dari suara sendiri

f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan

g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga

h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga

i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)

j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam

k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat

l. Reflek kejut

m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras

n. Tipe warna 2 jumlah cairan

o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning

p. Alergi

q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram

r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi

2. Fokus Intervensi

1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga

Tujuan : nyeri berkurang atau hilang

Intervensi:

(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.

(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.

(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)

(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik

Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang

2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan

Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi

Intervensi:

(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.

(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme

(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.

(d) Kolaborasi pemberian antibiotik

Evaluasi: infeksi tidak terjadi

3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori

Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan

Intervensi:

(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh

(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.

(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh

(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka

Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan

OTITIS MEDIA PERFORATA

A. Pengertian

Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)

B. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis antara lain:

1. Gangguan fungsi tuba eustacius yang kronis akibat:

a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis dan berulang

b. Obstruksi anatomik tuba eustacius parsial atau total

2. Perforasi membran timpani yang menetap.

3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.

4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulai atau timpano-sklerosis.

5. Terdapat daerah-daerah osteomielitis persisten di mastoid.

6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

C. Patofisiologi

Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.

OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif

2. Foto rontgent untuk mengetahui patologi mastoid

3. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani

E. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Kaji riwayat infeksi telinga dan pengobatan

b. Kaji drainage telinga, keutuhan membran timpani

c. Kaji penurunan / tuli pendengaran

d. Kaji daerah mastoid

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi efek pembedahan.

b. Resiko penyebaran infeksi berhubungen dengan komplikasi proses pembedahan / penyakit.

c. Gangguan persepsi sensori auditory berhubungan dengan proses penyakit dan efek pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan

a. Meningkatkan kenyamanan

1) Berikan tindakan untuk mengurangi nyeri

§ Beri analgetik

§ Lakukan kompres dingin pada area

§ Atur posisi nyaman

2) Beri sedatif secara hati-hati agar dapat istirahat (kolaborasi)

b. Pencegahan penyebaran infeksi

1) Mengganti balutan pada daerah luka

2) Observasi tanda-tanda vital

3) Beri antibiotik yang disarankan tim medis

4) Awasi terjadinya infeksi

c. Monitor perubahan sensori

1) Catat status pendengaran

2) Kaji pasien yang mengalami vertigo setelah operasi

3) Awasi keadaan yang dapat menyebabkan injury nervus facial

3. Evaluasi

a. Tak ada infeksi lokal atau CNS

b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang

c. Dapat mendengar dengan jelas tanpa atau menggunakan alat bantu pendengaran

DAFTAR PUSTAKA

1. Donna L. Wong, L.F. Whaley, Nursing Care of Infants and Children, Mosby Year Book.

2. Efiaty Arsyad, S, Nurbaiti Iskandar, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III, FKUI,1997.

3. Wong Whaley, Clinical Manual of Pediatric Nursing, Mosby Year Book.

Senin, 06 April 2009

DYSMENORRHEA

DYSMENORRHEA

Background

Dysmenorrhea refers to the syndrome of painful menstruation. Primary dysmenorrhea occurs in the absence of pelvic pathology, whereas secondary dysmenorrhea results from identifiable organic diseases, most typically endometriosis, uterine fibroids, uterine adenomyosis, or chronic pelvic inflammatory disease. The prevalence of dysmenorrhea is estimated to be between 45 and 95% among reproductive-aged women. Although not life threatening, dysmenorrhea can be debilitating and psychologically taxing for many women and is one of the leading causes of absenteeism from work and school.

History

Primary dysmenorrhea may be distinguished from secondary dysmenorrhea by means of a thorough history. Pertinent information includes age at menarche, abnormal vaginal bleeding or discharge, dyspareunia, and obstetric history.

Primary dysmenorrhea

Onset within 6-12 months after menarche
Lower abdominal/pelvic pain begins with onset of menses and lasts 8-72 hours
Low back pain
Medial/anterior thigh pain
Headache
Diarrhea
Nausea/vomiting

Secondary dysmenorrhea

Onset in 20s or 30s, after relatively painless menstrual cycles in the past
Infertility
Heavy menstrual flow or irregular bleeding
Dyspareunia
Vaginal discharge
Lower abdominal or pelvic pain during times other than menses
Pain unrelieved by nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Physical
A complete physical examination should be performed. For younger adolescents who have never been sexually active, a careful abdominal examination is appropriate. In older adolescents or those known to be sexually active, a pelvic examination is crucial. Pelvic ultrasonography should be considered in women who are suspected to have secondary dysmenorrhea.
Primary dysmenorrhea
May have lower abdominal tenderness
May have uterine tenderness or normal pelvic examination (Cervical stenosis may contribute to retrograde menstrual flow.)

Secondary dysmenorrhea
Palpable uterine mass or masses
Cervical motion tenderness
Adnexal tenderness or palpable mass or masses
Vaginal or cervical discharge
Visible vaginal pathology (mucosal tears, masses, prolapse)
Normal abdominal and pelvic examinations do not rule out pathology. Ultrasonography or other imaging modalities may be warranted if suspicion of secondary dysmenorrhea is high.
Causes
Risk factors
Primary dysmenorrhea
Early age at menarche ( <12 y)
Nulliparity
Heavy or prolonged menstrual flow
Smoking
Positive family history
Obesity

Secondary dysmenorrhea
Endometriosis
Adenomyosis
Leiomyomata (fibroids)
Intrauterine device
Pelvic inflammatory disease
Endometrial carcinoma
Ovarian cysts
Congenital pelvic malformations
Cervical stenosis
Lab Studies
The diagnosis of dysmenorrhea is generally clinical.
Laboratory studies may be indicated to elucidate the cause of secondary dysmenorrhea.

Complete blood count (with differential), for evidence of infection or neoplastic process
Urinalysis, to exclude urinary tract infection
Quantitative human chorionic gonadotropin level, to exclude ectopic pregnancy
Gonococcal/chlamydial cervical swabs, to exclude STDs/PID
Stool guaiac, to rule out GI bleeding
Erythrocyte sedimentation rate (ESR), for subacute salpingitis
Emergency Department Care
As always, ED evaluation should begin with the ABCs and should consider serious diagnoses such as hemorrhagic shock and sepsis. A patient whose history and clinical presentation clearly suggest primary dysmenorrhea may be treated symptomatically and provided with appropriate follow-up. A patient whose presentation is less clear, or whose vital signs and/or physical examination are abnormal, deserves a more thorough workup, including full laboratory studies, pelvic ultrasonography, and potentially an OB/GYN consultation.
Treatment of dysmenorrhea
Treatment of dysmenorrhea is aimed at providing symptomatic relief as well as inhibiting the underlying processes that cause symptoms.
NSAIDs reduce prostaglandin production via cyclooxygenase inhibition and are used as first-line therapy for dysmenorrhea. If taken early enough and in sufficient quantity, they are extremely successful in alleviating menstrual pain. Approximately two thirds of women achieve pain relief with NSAIDs. In the ED setting, patients who do not respond to NSAIDs may require treatment with narcotics for pain control. Patients whose symptoms are not relieved by NSAIDs are very likely to have underlying pelvic pathology such as endometriosis.
COX-2 specific inhibitors have also proven effective in relieving menstrual pain. Their selectivity reduces the GI symptoms caused by inhibition of the COX-1 receptor. However, recent clinical trials have raised into question their cardiovascular safety profiles. As a result, some of these agents are no longer available.
Simple analgesics, such as aspirin and acetaminophen, may also be useful, especially when NSAIDs are contraindicated.
Oral contraceptives, which block monthly ovulation and may decrease menstrual flow, may also relieve symptoms. In one clinical trial, 65% of women reported pain relief from oral contraceptives (Proctor, 2006).
Certain dietary supplements may be effective, though their effectiveness has only been demonstrated in small clinical trials. Thiamine, pyridoxine, magnesium, and fish oil are examples (Proctor, 2006).
Drug Category: Nonsteroidal anti-inflammatory agents
These drugs are highly effective in treating dysmenorrhea, especially when they are started before the onset of menses and continued through day 2. They are readily available, relatively inexpensive, and have a low side effect profile when used cautiously and in those who have no contraindications.

Author: 
Laurel D Edmundson, MD, Clincal Assistant Instructor of Emergency Medicine, Resident, Department of Emergency Medicine, Kings County Hospital Center, Brooklyn

Rabu, 18 Maret 2009

ASUHAN KEPERAWATAN dengan FRAKTUR VERTEBRA (LUMBAL)

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur
1. Pengkajian Keperawatan
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a. Data demografi/ identitas klien
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung
c. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur psikologis).
d. Riwayat spiritual
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam menjalankannya.
e. Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan.
f. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran tinggi badan
2) Pengukuran tanda-tanda vital
3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4) Kelainan bentuk pada dada
5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.
6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.
7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa membesar atau tidak.
8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya immobilisasi.
9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus otot.
g. Tes Diagnostik
Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :
1) Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.
2) Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.
3) Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
4) Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.
5) Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6) CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.
7) MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
8) Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan gangguan tulang belakang, yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
g. Konstipasi berhubungan dengan efek kerusakan spinalis
h. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 adalah sebagai berikut :
a. Diagnosa keperawatan I
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
1. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2. Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan
3. Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Rencana tindakan :
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.
Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.
4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau diraih klien.
Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih
5). Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
6). Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.
Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien
Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan dirawat.
8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.
Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme.
9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individu.
2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.
Rencana tindakan :
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan klien.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan batasan tersebut.
3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.
4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat anxietas pasien.
Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang
2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas pengetahuan.
3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi
4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.
Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan penyembuhan.
5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.
Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.
6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.
Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber – sumber untuk mengatasi masalah.
d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi
Kriteria hasil :
1. Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi
2. Mempertahankan posisi fungsional
3. Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4. Menunjukan teknik aktivitas
Rencana tindakan :
1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.
3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot.
4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai, dan mempertahankan masa otot.
Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot
5). Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial
Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1. Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
2. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi
Rencana tindakan :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat traksi/ gibs.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
3) Ubah posisi dengan sering
4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai indikasi.
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan :
1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu diperlukan.
2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
Rasional : Menandakan adanya retensi urine
3) Tingkat pemberian cairan
Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal
4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea suprapubis.
g. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.
Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.
Rencana Tindakan :
1). Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah dengan bahasanya sendiri.
Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan
2). Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual rendah.
Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang kembali berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Drs. Nasrul Effendi, 2000). Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :
1. Fase Persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
2. Fase Intervensi
Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :
a. Secara Mandiri (Independen)
Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor (penyakit), misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari
2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara wajar.
4) Menciptakan lingkungan terapeutik
b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.
c. Rujukan/ Ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.
Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :
1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat
2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya
3. Fase Dokumentasi
Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang digunakan :
a. Sources Oriented Record
b. Problem Oriented Record
c. Computer Assisted Record

5. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan perubahan tingkah laku klien.
Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi Sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam memutuskan/ menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.